KIRAB AGUNG TAPA mBISU
Adakah sebuah skenario besar ?
Adakah sebuah skenario besar ?
SUGENG MAHARGYO WARSO ENGGAL
Rebo Kliwon, 1 Sura 1944 Bé
Kurup Asapon (1936 – 2052 M)
Windu Kuntara
Lambang Windu Kulawu
Tahun Bé
Lambang Tahun Buda Mahésa (Kerbau)
Kumarané rupa Mina Lodan
Kurup Asapon (1936 – 2052 M)
Windu Kuntara
Lambang Windu Kulawu
Tahun Bé
Lambang Tahun Buda Mahésa (Kerbau)
Kumarané rupa Mina Lodan
Paarasan Lakuning Srengéngé
Pancasuda Lebu Katiyub Angin
Kamarokam Kala Tinantang
Watak Sasi Sasi Rahayu
Watak DinaSarik Agung (Tumuruning Kuthilapas)
Pancasuda Lebu Katiyub Angin
Kamarokam Kala Tinantang
Watak Sasi Sasi Rahayu
Watak DinaSarik Agung (Tumuruning Kuthilapas)
Mangsa Kanem (VI, Maya) 9 November – 21 Desember
Wuku Galungan
Lintang Jun
Padangon Nohan
Padéwan Éndra
Dina Buda (Rabu)
Paringkelan Aryang
Pasaran Kliwon
Lambang Dina Jaran
Wuku Galungan
Lintang Jun
Padangon Nohan
Padéwan Éndra
Dina Buda (Rabu)
Paringkelan Aryang
Pasaran Kliwon
Lambang Dina Jaran
Wening ing cipta, pasrah ing
rasa, kanthi sumunaring budhi. Mugya kita sami tansah manggih ing
karaharjan. Hamemayu hayuning bawana, suradira jayaningrat lebur dening
pangastuti. Wilujeng rahayu kang tinemu banda lan beja kang teka.
KIRAB AGUNG TAPA MBISUSudah menjadi tradisi masyarakat Yogyakarta Hadiningrat sejak ratusan tahun silam, bahwa setiap malam 1 Suro (tahun baru Jawa) masyarakat melaksanakan tradisi kirab mubeng benteng mengitari Kraton. Kirab agun adalah malam hening cipta, atau mesu budi, bertujuan untuk maneges keselamatan lahir dan batin kepada Sang Hyang Jagad Nata. Acara mesu budi dimulai tepat pukul 00.00 wib berangkat dari alun-alun utara Kraton dengan dipandu oleh para abdi dalem kraton yang mengusung pusaka Tumbak Kyai Slamet dan pusaka pendampingnya. Kirab agung ditempuh dengan berjalan tanpa alas kaki mengitari benteng Kraton sembari tapa mbisu alias diam seribu bahasa (tidak berbicara apapun). Kirab agung adalah bentuk meditasi atau semedi sambil berjalan. Eneng ening sinambi mlampah. Ngalap berkah tumurune wahyu dyatmika. Keselamatan bukan hanya untuk diri sendiri, juga untuk keselamatan bumi seisinya meliputi binatang, tumbuhan, dan mahluk halus.
Sepuluh tahun lalu, acara ini sempat meredup diakibatkan oleh adanya upaya penggusuran tradisi secara sistematis antara lain dengan cara menempelkan stigma negatif pada acara tersebut. Namun sejak gempa besar di Jogja pada 27 Mei 2006 lalu, masyarakat seolah seperti terbangun kesadarannya, bahwa selama ini telah melupakan nilai-nilai luhur warisan para pendahulu bangsa. Sejak itu peserta Kirab Agung kian ramai lagi. Dua hari sebelum malam 1 Suro, Jogja dan wilayah sekitarnya dalam seharian siang dan malam selalu diguyur hujan sangat lebat sesekali disertai guntur menyambar-nyambar. Namun rupanya berkah alam gayung bersambut. Malam 1 Sura ini langit bersih terang benderang, hawa tidak gerah, terasa lebih sejuk dari biasanya, malam pun terasa begitu hening seolah-olah alam semesta sedang melaksakanan meditasi. Ada suatu fenomena yang fantastis, malam ini malam 1 Suro 1944 (malam 8 Desember 2010) kirab Agung yang dimulai dari pukul 00.00 hingga 03.00 wib diikuti sekitar 5000 perserta, terdiri dari laki-laki, perempuan, tua, muda, dewasa bahkan anak-anak dengan latar belakang beragam etnis dan agama.
Sebagaimana prinsip dalam pandangan hidup Jawa, Kirab Agung memiliki nilai universal, tidak sektarian dan primordial. Hal ini sebagai refleksi akan pemahaman spiritual Javaisme yang anti sektarianisme dan primordialisme, karena bagi pemahaman Javaisme, kedua mazab pikir tersebut justru mencerminkan level kesadaran seseorang masih sangat rendah. Setelah gempa Jogja 27 Mei 2006 lalu, kini masyarakat Jogjakarta seolah dibangunkan kesadaran spiritualnya yang kedua kali dengan peristiwa letusan gunung Merapi yang sangat dahsyat. Masyarakat menjadi lebih menyadari pentingnya keharmonisan dan keselarasan antara mikrokosmos dengan makrokosmos. Kesadaran spiritual yang tergugah itu telah memberikan impilkasi dengan melonjaknya jumlah peserta Kirab Agung secara signifikan. Yah, terlepas dari ada tidaknya “skenario” besar Ki Sabdopalon dan Ki Noyogenggong, yang jelas lingkungan alam di sekitar kita telah mengajarkan kepada manusia supaya hidup lebih arif dan bijaksana dengan memahami dan menghayati gamabudi; budi pekerti luhur.
TAPA MBISU
Tapa mbisu hakekatnya adalah bentuk laku prihatin dengan me-nonaktifkan mulut untuk hal-hal negatif dan sia-sia. Melalui tapa mbisu ini kita diajarkan untuk mampu memenej mulut kita. Maka dalam kirab agung seluruh mulut peserta harus diam non-active, sementara itu yang diaktifkan adalah mata batinnya. Ini sebagai bentuk laku sembah cipta, sembah kalbu. Tapa mbisu adalah cara untuk melatih diri kita untuk tidak terbiasa besar mulut, omdo atau omong doang, sampai mulut berbusa. Karena tabiat ini bukanlah gambaran budi pekerti yang luhur. Diam itu lebih baik ketimbang obral bicara tanpa makna. Diam adalah lebih baik daripada bersuara (provokatif) yang akan menimbulkan ketakutan, kebencian dan amarah orang lain. Istilah kasarnya, menengo, ojo kakehan cangkem !! Jika mulut kita terkendali dengan sebaik-baiknya, ia akan menjadi berkah buat diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Sebaliknya, mulut akan berubah menjadi “harimau” (malapetaka) buat diri sendiri.
ADAKAH KALENDER JAWA ?
Ada juga yang mengira kalender Jawa sekedar mengikuti, ikut-ikutan, njiplak, plagiat kalender bulan (yang dimulai sejak nabi melakukan eksodus hijriyah) hanya dikarenakan tanggalnya selalu bersama dan identik angkanya. Hal itu merupakan pendapat yang salah kaprah. Kita semua tahu kalender bulan berdasarkan siklus planet bulan (the moon). Sementara itu kalender Jawa ada sejak tahun Saka yang diawali pada tahun 66 Masehi. Kalender Jawa merupakan kombinasi dua siklus yakni matahari dan rembulan. Karakter kalender Jawa asalnya menggunakan siklus kalender Saka dan tradisi asli nusantara sejak zaman kerajaan kuno, sehingga menghasilkan keunikan yang khas, bahkan menghasilkan ragam putaran siklus seperti ; windu, padangon, mangsakala, paringkelan, pasaran, pawukon, lintang, padewan, jaman sebagaimana tersebut di atas. Keunikan ini memang terkesan rumit, namun justru memiliki tingkat akurasi tinggi bila digunakan sebagai alat penganalisa karakter dan tabiat alam semesta, meliputi mikrokosmos dan makrokosmos.
Jika kita cermati antara kalender Jawa dengan kalender bulan (hijriyah) terdapat dua perbedaan mendasar, pertama; adalah angka tahunnya, terdapat perbedaan pada jumlah tahun yang menunjukkan rentang waktu sangat lebar. Kalender bulan saat ini sampai pada hitungan tahun 1432 H. Sementara itu kalender Jawa sampai pada hitungan tahun 1944 Be. Berarti kalender bulan memiliki selisih 512 tahun lebih muda dari kalender Jawa. Sedangkan jika dibanding kalender matahari, kalender Jawa lebih muda 66 tahun. Kedua ; tanggalnya. Antara keduanya selalu terjadi dinamika pergeseran antara 1 sampai dengan 2 hari. Hal ini dapat pula kita lihat bahwa kalender bulan dalam setiap 8 tahun terjadi 4 kali tahun kabisat. Sementara itu kalender Jawa 11 kali kabisat dalam waktu 20 tahun.
KI JURU ANGON (ANGON BEBEK !)
Ada satu kejanggalan di mana antara kalender bulan (hijriyah) dengan kalender Jawa seringkali tanggalnya bersamaan. Kadang berselisih satu dua hari. Namun demikian jelas tahunnya saja yang berbeda. Hal ini terjadi bukan karena kebetulan. Kanjeng Sultan Agung Hanyakrawati pada akhir abad 15 berusaha untuk melakukan asimilasi dan akulturasi budaya, antara budaya Jawa yang memakai kalender Saka, dengan budaya Arab yang memakai kalender hijriyah. Hal itu bukan sebagai suatu tindakan bodoh, sebaliknya pada waktu itu situasi sedemikian rupa sehingga para pemimpin Jawa berusaha bersikap lebih arif dan bijaksana. Anasir asing diijinkan masuk ke nusantara dengan catatan mau melakukan asimilasi dan akulturasi. Karena tidak seluruh anasir asing itu akan baik jika diterapkan di nusantara, dengan alasan itu masyarakat Jawa dengan kearifannya melakukan seleksi hanya nilai-nilai positif dan konstruktif saja yang diambil. Kanjeng Sultan Agung berusaha mengakomodasi budaya asing dengan mengkombinasikan dua sistem kalender tersebut. Selanjutnya sistem penanggalan dalam kalender bulan dimasukkan ke dalam siklus kalender Tahun Saka yang menganut siklus matahari. Jadilah kalender Jawa yang memadukan dua siklus yakni tahun saka dengan siklus matahari dengan bulan hijriyah dengan siklus bulan. Namun rupanya, kearifan dan kebijaksanaan para pendahulu kita, para leluhur bangsa, kini tak pernah dihargai dan disadari generasi penerus bangsa. Bahkan Ibaratnya dahulu kala ada segerombol lebah telah menawarkan madu, namun kini lebah itu tidak lagi menawarkan madu, melainkan membalas kebaikan hati para leluhur nusantara dengan “sengatan lebah” yang menyakitkan. Kita harus berani jujur mengakui bahwa sistem kalender Jawa telah ada jauh sebelum kemudian kalender bulan diberlakukan oleh Kanjeng Sultan Agung Hanyakrawati. Sikap Kanjeng Sultan Agung tersebut sebagai sikap perilaku orang Jawa yang selalu menghormati dan menghargai “tamu” sekalipun itu “tamu asing”. Kanjeng Sultan Agung telah menunjukkan sikap ngemong (asih-asuh) kepada para “tamu”. Dapat dikatakan beliau angon bebek. Namun kini “tamu” tersebut ternyata telah mbagekake sing duwe omah. Kini para tamu telah berlagak tak sopan, dengan mengatur dan mendikte sang tuan rumah. “Sang bebek” telah berusaha untuk berbalik menjadi peng-angon. Namun kodrat kearifan alam tidak demikian rupa adanya.
Dalam acara malam kirab agung 1 Suro, kami pergunakan untuk maneges Gusti Murbeng Gesang, untuk segera rawuhnya Satriyo Pambukaning Gapura, juga keselamatan, karahayuan, kelancaran rejeki, kasantosan, bagi seluruh makhluk dan juga meneges khusus untuk para sedulur yang telah memberikan sumbang sih, sumbang saran, kritikan, bahkan cacian sekalipun, semoga tansah pinaringan rahayu ingkang samya pinanggih, kasantosan, kawaluyan, kabegjan lan gangsar rejeki ing warso ngajeng samangke. Semoga negeri ini menjadi negeri yang adil makmur, damai tenteram, sejahtera lahir dan batin.
Bulan Sura kali ini adalah Sura Mijil, mijiling welas asih saking ngarsane Pengeran, lumantar para ngaluhur tumrap putra wayah, anak turun, generasi bangsa yang selalu eling dan waspada, tansah setya budya, setya tuhu bekti maring para ngaluhur. Kalajengaken ing tahun kawelasan 2011, tedak turune wahyu untuk generasi bangsa yang selalu eling waspada, setya tuhu, berbakti kepada para orang tua, para leluhur yang menurunkan kita semua.
0 komentar:
Posting Komentar